Catatan Kecil dari Hari Menonton Bersama
DENIAS
Melihat anak-anak pergi ke sekolah dengan berjalan kaki adalah pemandangan sehari-hari yang bisa dilihat di pulau Rote. Tidak hanya ke sekolah tetapi juga saat pergi bermain atau pergi menemui orangtua mereka di sawah. Mengingat fakta ini saya lalu teringat akan seorang anak, Janias di pedalaman Papua yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan. Kisahnya kemudian dijadikan sebuah film berjudul Denias, Senandung di Atas Awan. Film ini diproduseri oleh Alenia Pictures (Mira Lesmana & Riri Riza) untuk menunjukkan bagaimana anak-anak di pelosok negeri melawan keterbatasan untuk menggapai mimpinya.
Meskipun dirilis di tahun 2006, kisahnya masih melekat dalam ingatan saya, masih sanggup membuat saya terharu. Karena itulah saya memilih film ini untuk kami nonton bersama.
Film Denias diputar di Rumah Baca Lekunik beberapa tahun lalu. Meskipun pencahayaannya terlalu terang karena ruangan yang saya pakai untuk belajar bersama anak-anak belum memiliki pintu dan jendela, saya bisa melihat ada haru dan bahagia di wajah mereka. Saya sendiri harus menyembunyikan air mata yang menetes tanpa disadari. Rasa yang sama saat menontonnya beberapa puluh tahun yang lalu.
Kami tidak pernah lagi menonton film layar lebar setelah itu. Beberapa kali kami menonton film pendek inspiratif di rumah salah satu anak, Gisha.
Unsung Hero
Ada hal menarik yang saya temukan dari sekolah tempat saya mengabdi selama hampir kurang lebih sebulan. SMA Kristen ISRA adalah Sekolah Menengah Atas berasrama yang ada di pulau Rote. Dari SMA Kristen ISRA saya mengetahui banyak judul lagu dan film baru. Anak-anak di SMA Kristen ISRA terbiasa dengan lagu dan film. Mereka sangat suka bernyanyi. Fakta ini saya ketahui dari teman-teman guru dan dari tanggapan yang ditulis anak-anak saat pelajaran berakhir.
Banyak dari mereka yang menulis, bisakah kita memulai pelajaran dengan bernyanyi. Dan sejak saat itu saya selalu memdengarkan sebuah lagu di kelas sebelum memulai atau di akhir pelajaran. Durasi total 140–175 menit menjadi lebih bermakna dengan lagu. Satu lagu yang anak-anak kenalkan kepada saya adalah lagu You Make Everything Beautiful. Dan dari lagu tersebut saya tahu bahwa anak-anak di ISRA memiliki movie time setiap malam minggu.
Ternyata lagu You Make Everything Beautiful adalah soundtrack dari film Unsung Hero yang pernah mereka nonton. Saya menjadi benar-benar penasaran dan berharap bisa menontonnya bersama anak perempuan saya. Harapan itu jadi nyata saat liburan tiba. Saya tidak hanya menontonny bersama anak perempuan saya, hal yang sering kami berdua lakukan, tetapi menontonnya beramai-ramai dengan anak-anak di Takai. Kali ini kami tidak menonton di ruangan belajar di Rumah Baca Lekunik atau di rumah papannya Gisha tetapi di rumah baru yang dibangun oleh orang tua Gisha.


Mereka sangat senang saat saya mengatakan kita akan menonton film bersama. Momennya bertepatan dengan momen ulang tahun Gisha meskipun sudah lewat dua hari. Saya membawa roti dan brownies. Brownies itu dipasangi sebuah lilin dan dengan beragam cara kami akhirnya bisa memberikan surprise untuk Gisha. Saat lampu dimatikan suasananya seperti kami sedang berada di dalam bioskop.
Ada beberapa nilai yang bisa diangkat dari film ini; Ketangguhan hati dari Helen Smallbone yang diperankan oleh Daisy Betts, ibu dari tujuh anak. Sosok ibu yang penuh kasih, sabar, dan kuat dalam diam, dalam doa. Jelas sekali terlihat bahwa iman menjadi pegangan di tengah kesulitan dan keluarga menjadi tempat bertumbuh dan berkembang.
Dan beberapa kali saya bisa mendengar isak yang disembunyikan di ruangan itu. Bukan hanya anak-anak, saya pun beberapa kali menghapus air mata yang mengalir di pipi tanpa saya sadari. Sayangnya kami mulai sedikit terlambat sehingga tidak ada sesi diskusi selesai menonton karena anak-anak harus latihan nyanyi di gereja untuk persiapan hari esok, hari Minggu.
Kami pun membuat janji untuk bertemu kembali. Sebenarnya rencana awal kami akan bertemu kembali di hari Minggu sekaligus merayakan ulang Tahun Feren, tetapi karena anak-anak sibuk dengan sekolah minggu yang diadakan di sore hari, pertemuan dipindahkan ke hari Rabu
Saya mempersiapkan dua film untuk kegiatan kami berikutnya, The Mitchells vs The Machines dan Sister Act II. Kedua film sudah ditonton oleh putri saya dan saya memberikan dia kuasa untuk memilih karena saya yakin ia tahu mana yang disukai teman-temannya.
“Kalau Sister Act II juga bagus sih, Ma. Tapi sepertinya lebih seru film The Mitchels, karena itu filmnya bertema keluarga yang seru dan menegangkan.”
The Mitchells vs The Machines

Hari Rabu pun tiba. Kami mempersiapkan makanan dan camilan untuk dinikmati bersama saat nonton. Semua anak saling membantu, ada yang menggoreng pop corn, ada yang membantu saya membuat mie goreng, ada yang pergi membeli minuman sachetan dan juga es batu. Saat semuanya sudah siap untuk dinikmati, kami mengucap doa, lalu anak-anak membagi makanan untuk saya dan teman-temannya.


Lampu dimatikan, nampak kartun lucu dari keluarga the Mitchells dan kesibukan Katie Mitchell, anak-anak perempuan kreatif yang bercita-cita menjadi pembuat film. Ia sedang sibuk menyiapkan segala keperluan kuliahnya. Saat makan malam terjadilah salah paham antara Katie dan ayahnya. Anak-anak sontak berteriak saat menyaksikan bagaimana laptop yang diperebutkan oleh Katie dan Rick, ayahnya jatuh dan pecah berkeping-keping. Katie langsung berlari ke kamarnya dan membenamkan diri di sana. Rick Mitchell, ayah yang sangat menyukai alam dan tidak paham teknologi, hanya bisa berdiri di depan pintu kamar, canggung untuk mengetuk. Rick malah membuka video-video kenangan sewaktu Katie masih kecil.
Keesokan paginya, Katie sangat terkejut saat menemukan Rick, Linda Mithell: ibu penyayang yang selalu berusaha menjaga kedamaian keluarga, Aaron Mithell: adik Katie, pencinta dinaosaurus dan juga Monchi: anjing keluarga yang tidak berguna tapi lucu sudah menunggunya di depan rumah. Mobil keluarga mereka sudah dipenuhi barang.
Rick membatalkan penerbangan Katie dan memutuskan mengantar Katie dengan mobil. Dan setelah dibujuk Rick, Katie akhirnya setuju dengan perjalanan darat keluarga itu. Harapan Rick untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya terwujud.
Namun, dalam perjalanan itu, dunia tiba-tiba diserang oleh robot-robot canggih. Hanya keluarga Mitchell yang tersisa untuk menyelamatkan dunia. Di bagian pertarungan melawan robot ada banyak adegan haru, lucu dan seru. Ada haru karena penonton disentil oleh konflik: bagaimana kalau teknologi malah balik melawan kita dan bagaimana orang-orang di dunia makin sibuk dengan teknologi dan melupakan orang-orang terdekatnya. Karakter robot yang bingung , monyet yang lucu dan anjing keluarga Mitchells membuat anak-anak tertawa terbahak-bahak.
Film animasi penuh warna, dinamis, penuh ilustrasi doodle khas Katie dengan gaya komedi dan sudut pandang anak muda kreatif mendapatkan banyak penghargaan dalam Annie Awards 2022.
The Mitchells vs. The Machines adalah lebih dari sekadar film lucu tentang robot. Ini adalah film tentang keluarga, harapan, dan bagaimana kita bertumbuh bersama di zaman digital.
Tanggapan
Saat film berakhir, lampu dinyalakan saya meminta anak-anak untuk memberikan tanggapan.
Berikut tanggapan dari anak-anak :
Alea : “Katong sekarang nih lebih pentingkan hape, kita punya orang tua di belakang nah dong bacarita sendiri. Dan di umur-umur kita sekarang kita sering sekali keluar rumah untuk bergiat, pulang rumah kalau su capek nah langsung tidur. Kadang beta pikir coba kalau beta di rumah pasti beta su bacarita dengan beta punya mama.”
Zelsy : “Beta sonde merasa relate dengan itu film karena beta sonde ada hape.”
Gisha : “Kadang mama minta pinjam mau nonton di hape beta sonde kasih, padahal mama kesepian dan katong main hape terus.”
Feren : “Beta rasa beta kalau su pegang hape beta jadi pemalas banget, beta jadi malas mau kerja.”
Susan : “Kalau beta pung mama kan punya hape, tapi kadang kalau mama punya data habis minta katong hotspot nah, katong son kasih.”
Chilli tidak merasa bahwa hape berpengaruh dengan hidupnya, karena tidak memiliki hape.
Melodya : “Kadang-kadang lupa mama, kalau su main hape.”
Henny : ”Kalau di rumah tuh yang punya hape beta pu adik dengan beta pu bapa. Kadang beta punya ade bapinjam hape di be pung bapa. Biasanya kalau katong habis makan sama-sama beta masuk kamar dan belajar tuh beta dapa dengar beta pung bapa, mama dengan ade bacarita di teras dan beta rasa kek, koq beta sendiri di kamar, tapi beta sonde bisa bakaluar dan bergabung. Beta merasa hape nih su pimpin beta sampai melewatkan momen indah dengan b pung keluarga.”
“Kalau beta sekarang misalnya beta dengar b pu bapa, mama, ade dengan kaka ngobrol di dapur beta langsung simpan hape dan bergabung dengan mereka. Beta mau bisa terus sama-sama deng dong sepanjang waktu,” tambah Alea sambil menangkupkan tangannya ke wajah menutupi tangis yang ia tahan, “Kadang beta merasa lebih baik sonde usah kenal hape sa, tapi sekarang kan apa-apa butuh hape, katong belajar sa butuh hape. Dan besong sadar kah sonde, dulu waktu belum ada hape katong kerja PR tuh harus cari dari buku. Contoh katong mau cari tahu tentang ekosistem, nah biasanya katong akan baca hampir di seluruh buku dengan membaca, dengan sendirinya katong tahu hal-hal lain selain ekosistem. Sekarang ada hape katong tinggal buka google dan cari pengertian ekosistem langsung keluar jawaban dan hanya itu sa yang katong tahu,” lanjut Alea.
Ruangan itu kemudian menjadi ramai: mereka bersahut-sahutan saling menambahkan dan membenarkan ucapan Alea.
Kegiatan hari itu berakhir dengan sejuta rasa tersendiri buat saya. Saya senang melihat anak-anak senang. Saya jadi semakin yakin bahwa cerita adalah alat belajar paling efektif. Membaca buku atau menonton film membuat mereka bisa memahami nilai-nilai hidup tanpa merasa dinasihati oleh orang dewasa. Dari The Mitchells vs The Machine mereka belajar tentang bagaimana handphone ternyata tanpa disadari telah merenggut waktu mereka bersama keluarga.
Teknologi bisa menyatukan kita — tapi bisa juga menjauhkan kita satu dengan yang lain.
Katie suka membuat film dengan handphone-nya. Rick, ayahnya, lebih suka hidup tanpa teknologi. Tapi saat robot menguasai dunia, mereka sadar bahwa yang paling penting bukan handphone, bukan internet, bukan media sosial — tapi keluarga.
Mereka baru benar-benar saling mengerti saat meletakkan handphone dan mulai melihat satu sama lain. Kadang-kadang kita perlu untuk mematikan layar dan melihat orang-orang di sekitar kita. Memperhatikan senyum mereka, menyediakan telinga untuk cerita-cerita mereka atau menikmati kicauan burung di luar rumah. Karena dunia nyata dengan semua kasih sayang dan kebersamaan lebih seru daripada layar kecil di tanganmu.
Mari kita gunakan handphone, teknologi untuk hal-hal baik: belajar, membuat karya atau menghubungi orang-orang jauh. Namun jangan lupa, orang-orang yang mencintaimu berada di dekatmu.
Harapan saya kesadaran yang datang saat menonton film, tidak bertahan sebentar saja di benak mereka, tetapi bisa menjadi peringatan dan kontrol setiap kali mereka kehilangan batas saat bercengkrama dengan handphone.
Komentar
Posting Komentar